Senin, 30 Maret 2009


PERSIAPAN JENAZAH

A. Hal-hal yang dilakukan oleh orang yang dalam keadaan sakit keras dan akan mengalami kematian

Tatkala seorang dalam keadaan sakit dan dalam kondisi parah sehinga akan menunjukan tanda-tanda kematian maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, Diantaranya:

Wajib untuk bersabar
Hendaknya seseorang yang mendapatkan cobaan itu bersabar atas penyakit yang ia derita
[1]. Hal ini berdasar pada sebuah hadits:

من مرض ليلة فصبر ورضى بها عن الله خرج من دنو به كيوم ولد ته امه ( رواه : التمذي عن ابي هريرة )

“Barang siapa yang sakit pada malam hari sedangkan ia bersabar dan ridho dengan sakit tersebut, Allah telah mengeluarkan dari dosa-dosa nya seperti seorang anak yang dilahirkan dari perut ibunya”. ( Hr: Tirmidzi )
[2]

Disunahkan untuk berobat
Imam Syafi’i berkata: bahwa orang yang sakit itu disunahkan untuk berobat, dan hendaknya orang yang sakit berobat dengan mengunakan obat-obatan yang diperbolehkan
[3]. Berdasar pada sebuah Hadits:
فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً ( رواه : التمذي )

“Sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya”. ( Hr: At-Thirmidzi )
[4]

Ruqyah
Diperbolehkan bagi orang itu meminta mantra mengunakan Al-Qu’ran dan juga doa yang dicontohkan oleh Nabi Sollallaahu ‘alaihi wasalam dan mengunakan kata-kata yang baik
[5].
Berdasarkan pada sebuah hadits:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا(رواه : ابو داود )

“Tidak apa-apa mantera dengan sesuatu yang tidak ada syirik didalamnya”. ( Hr: Abu Daawud )
[6]

Diharamkan mengunakan jimat
Seseorang diharamkan mengunakan jimat karena berdasar pada sabda Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه احمد)

“Barang siapa yang menggantungkan jimat maka sungguh ia telah berbuat syirik”. ( Hr: Ahmad )
[7]

Diperbolehkan berobat kepada orang kafir dan mengobati wanita
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa boleh berobat kepada orang kafir, apabila orang tersebut dapat dipercaya oleh orang Islam. Dan diperbolehkan orang laki-laki berobat kepada orang wanita, begitu pula sebaliknya, berdasar pada sabda Nabi Sollallaahu ‘alaihi wasalam:

اذا ستخذم الي رسول الله صلى الله عليه ولسلام بعض المشركين في بعض السؤون كان نساءالصحا بة يداوين الجرحي في الجهاد على عهد الى رسول الله صلى الله عليه وسلام (رواه: البخا ري )

“Karena Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam mengunakan orang-orang musyrik itu dalam beberapa urusan, dan meminta wanita-wanita sahabat mengobati mengobati orang laki-laki yang terluka dimedan jihad pada jaman Rasulullah”. ( Hr: Bukhori )
[8]

Membuat tempat khusus
Diperbolehkan membangun tempat khusus bagi penderita penyakit menular dan orang-orang sehat dilarang untuk berhubungan dengannya kecuali Dokter, karena Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada pemilik onta:
لا يور د ن ممر ض على مصح (رواه: مسلم )

“Janganlah onta-onta yang sakit melewati onta-onta yang sehat” . ( Hr: Muslim )
[9]

Hal ini diterapkan oleh Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam kepada onta apalagi kepada kepada manusia. Rasulullah juga bersabda tentang penyakit tho’un:

اذاوقع با رض وانتم بها فلا تخرو جوا منها، واذا وقع بارض ولستم بها فلا تهبطوا عليه ( روه: مسلم )

“Jika penyakit thoun menimpa salah satu daerah dankalian berada di daerah tersebut, kalian jangan keluar daripadanya, jika penyakit thoun menimpa salah satu daerah dan kalian tidak berada didalamnya, janganlah kalian memasukinya”. ( Hr: Muslim )
[10]

Berhusnudzon kepada Allah
Dan disunahkan kepada orang yang sakit itu berbaik sangka kepada Allah
[11], sebagaimana berdasar pada sebuah Hadits:

لا يموتن احدكم الا وهو يحسن الظن بالله تعا لى ( روه: مسلم )

“Janganlah sekali-kali seorang diantara kamu mati kecuali dia sedang berhusnudzon kepada Allah”. ( Hr: Muslim )
[12]

Maksudnya adalah bahwa dia harus berprasangka bahwa Allah itu sedang memberi rahmat kepadanya, dan dia mengharap kemulyaan, rahmat dan ampunan. Karena Allah itu memulyakan orang-orang yang memulyakanya, dan yang meminta maaf dari salahnya. Dia mendahulukan raja’ atas khauf, sebagaimana yang terdapat dilam sebuah hadits:

انا عند حسن الظن عبدي بي ( روه : الترمذي )

“Saya bergantung kepada prasangka hambaku kepadaku”. ( Hr At-Tirmidzi )
[13]

Tidak boleh menginginkan kematian
Menginginkan kematian atas cobaan yang dialami merupakan hal yang dibenci, berdasar pada sebuah hadits:

لا يموتن احدكم الموت لضر اصا به، فاءن كان ل بد فا علا :فليقول : اللهم احيني ما كانة احيا خيرا لي ، وتوفني ما كانة وفاة خيرا لي ( روه :البخري )

“Janganlah sekali-kali kamu mengharap kamatian disebabkan karena kesusahan yang menimpanya, jika seseorang dalam keadaan yang memprihatinkan, maka ucapkanlah: Ya tuhan kami hidupkanlah aku sekiranya hidup itu lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku sekiranya wafat itu lebih baik bagiku”. ( Hr: Bukhori )
[14]

Meninggalkan wasiat
Hendaknya orang yang akan meninggal dunia meninggalkan wasiat, hal ini bedasar pada firman Allah:

=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽØym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.( Qs : Al-Baqarah : 180 )

B. Hal-hal yang dilakukan oleh orang yang sehat
Mengunjungi orang sakit
Disunahkan bagi orang yang sehat untuk mengunjungi orang sakit, hal ini berdasar pada sabda Nabi Sollallaahu ‘alaihi wasalam
[15] :

عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِع( روه: مسلم )
َ
“ sesungguhnya orang muslim apabila melawat sodaranya yang sakit, berarti ia duduk ditaman surga hingga ia kembali. ( Hr: Muslim )
[16]

Dan juga berdasar pada sebuah hadits:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (رواه: البخا ري )

“ Hak muslim atas muslim yang lainya itu ada lima yaitu: menjawab salam, menjenguk orangyang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, dan mendopakanya ketika bersin” ( Hr, Bukhori).
[17]

Mengunjungi orang non Muslim
[18]
Imam hanafi berkata: diharamkan mengunjungi orang on Muslim, ketika mengawalinya dengan salam.
Imam safi’i berkata: tidak disunahkan mengunjungi orang non Muslim, tetapi diperbolehkan apabila disana yang sakit tetangganya, atau karibnya, atau yang semisalnya dengan mengharapkan supaya dia kembali kepada Islam. Dan ketika sudah ada janji yang menjadi hak tetangga orang tersebut. Hal ini berdasar pada sebuah Hadits:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّار ِ(رواه: البخا ري )

“Dari Anas Rasulullah bersabda: adalah seorang anak yahudi pembantu nabi tatkala ia sakit, maka Rsulullah mengnjunginya dan duduk disamping kepalanya maka berkata disampingnya Berislamlah, maka anak tersebut meminta ijin kepada ayahnya, dan dia berada disampingnya maka ayahnya berkata: Taatilah abal kosim, maka berislamlah, maka ketika nabi keluar dia berkata: segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anakku dari api neraka”. ( Hr: Bukhori )
[19]

Mentalqin orang akan meninggal dunia
Jika seseorang mendapati saudaranya hendak meninggal dunia disunahkan mentalkinya dengan kalimat ikhlas, dengan mengucapkan Laailaahaillallah
[20] diingatkan kepadanya sehingga ia mengucapkannya, maka ketika ia telah mengucapkannya hendaknya saudaranya mengajarkanya. Tetapi jika ia mengucapkan perkataan yang lain, ia kembali mentalqinnya dengan harapan jika diakhir kata-katanya ia mengucapkan Laailahaillallah maka ia akan masuk syurga. Hal ini berdasarkan pada sabada Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam :

عن ابي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه :مسلم )

”Talqinkanlah orang yang akan meninggal diantara kamu(mengucapkan Lailahaillallah)”. (HR.Muslim)
[21].

Dan juga berdasarkan pada sabdanya:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه : ابو داود )

“Barangsiapa yang diakhir perkataannya mengucapkan Lailahaillallah dia akan masuk syurga” (HR. Abu Daud)
[22].

C. Menghadapi Jenazah
Apabila ada orang yang baru meninggal dunia hendaknya dikerjakan hal-hal sebagai berikut :
Memejamkan mata simayit.
Hal ini berdasar pada sebuah hadits:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ (رواه :مسلم )

“Sesungguhnya ruh itu keluar bersama dengan pandanganya“(HR. Muslim )
[23]

Doakanlah baginya dengan doa yang dituntukan oleh Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam.
Hal ini berdasar pada sebuah hadits:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ رَبَّ الْعَالَمِينَ اللَّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ (رواه : ابو داود )

“Ya Allah ampunilah…….(namanya), junjunglah derajatnya setinggi orang-orang soleh, berikanlah gantinya sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia. Ya Allah, lapangkanlah kuburnya dan terangilah kuburnya,”. (HR. Abu Daud)
[24]

Hendaknya melunasi hutangnya
Hendaknya keluarga simayit menyegerakan melunasi hutang si mayit
[25], manakala berhutang untuk segera dilunasi jika ada kelonggaran seperti diambilkan dari harta peninggalan atau hasil pertolongan sanak kerabat.
Hal ini berdasar pada sebuah hadits:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ ( رواه : الترمذي )

“Nyawa seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya, sehingga dilunasi” ( Hr, Tirmidzi )
[26].

Selubungilah mayat dengan kain yang bagus
Hal ini berdasarkan pada sebuah hadist yang menyatakan :

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ ( روه : البخا ري )

“Bahwa ketika Rasulullah SAW wafat beliau diselubungi dengan kain hibmal (kain yaman yang bercorak)”. ( Hr: Bukhori )
[27]

Istirja’
Bagi keluarga yang ditinggalkan hendaknya bersabar terutama pada saat kematiannya, berdasarkan pada hadist Rasulullah Sollallaahu ‘alaihi wasalam :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى ( روه : البخا ري )

“Sesungguhnya sabar itu pada kejadian yang pertama.” ( Hr: Bukhori )
[28]
Dan hendaknya dipertama kali terkena musibah kita berdoa dan mengucapkan kata-kata istirja’, berdasarkan pada sebuah hadits :

سَمِعَ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَجَرَهُ اللَّهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا (رواه :مسلم )

“Tidaklah seorang hamaba yang tertimpa musibah, kemudian mengucapkan”sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepadanya, ya Allah berilah aku pahala dari musibahku, dan berilah aku ganti yang lebih baik lagi daripadanya, melainkan Allah memberinya pahala kepadanya, atas musibahnya, dan memberi ganti yang lebih baik dari musibahnya”, ( Hr: Muslim ).
[29]

D. Bid’ah-bid’ah seputar persediaan jenazah
Ada beberapa hal yang menjadi menjadi keyakinan dimasyarakat yang sebenarnya ketika hal tersebut difahami dengan tinjauan nash atau syar’i sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Nabi, diantara perbuatan bid’ah tersebut adalah:
Keyakinan bahwa setan mendatangi orang yang hampir mati dalam sosok kedua orang tuanya dengan mengunakan pakaian yahudi dan nasrani, dengan memaparkan segala bentuk millah ( ajaran agama ) untuk menyesatkan
[30].
Meletakkan mushaf diatas kepala orang yang akan meninggal dunia.
Mentalkin orang yang akan meninggal dunia dengan berikrar atas nama Nabi Muhammad dan Ahlul Bait.
Membuat sesaji yang dipersembahkan kepada mahluq halus dengan harapan supaya penyakit yang diderita itu cepat sembuh.
Membacakan surat yasin terhadap orang yang akan meninggal dunia.
Menghadapkan orang yang akan meniggal dunia kearah kiblat.
berobat dengan cara pergi kepada orang musyrik ( Dukun ).


MEMANDIKAN JENAZAH
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah berfirman :
“Ï%©!$# t,n=y{ NöqyJø9$# no4qu‹ptø:$#ur öNä.uqè=ö7u‹Ï9 ö/ä3•ƒr& ß`¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur Ⓝ͕yèø9$# â‘qàÿtóø9$# ÇËÈ
“yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al Mulk : 2)
A.Cara Memandikan jenazah
1. Niat
Hal ini sebagaimana Rosululloh Saw telah bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya : Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan seseorang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkannya…
[31]
2. Jenazah di letakan di atas meja atau di tempat yang lebih tinggi, dengan kepala lebih tinggi daripada kaki agar air yang mengandung najis nantinya tidak mengalir kembali kebagian yang sudah bersih
3. Selanjutnya kain penutup jenazah dibuka kemudian dilanjutkan dengan membuka pakaian / baju yang masih dipakai jenazah. Setelah selesai selanjutnya menutup aurat jenazah dengan handuk atau kaian yang sejenisnya yang bias menutup auratnya
[32].
4. Dilunakkan persedian-persedian, dengan cara menggerak-gerakan tangan sampai siku ke pundak, dari kaki sampai kepaha, kemudian di rentangkan lagi, kecuali yang sudah kaku
5. Memakai kaus tangan dari bahan yang lembut (seperti kaus) untuk membersikan najis. Caranya : Perut (didaerah pusar) di tekan-tekan perlahan. Kecuali bagi jenazah perumpuan yang hamil, hanya diusap. Jika kaus tangannya sudah kotor dibuang, diganti
6. Mewudhukan secara sempurna serta tidak berkumur atau memasukkan air ke hidung. Meskipun dalam hal ini terjadi perselisihan pendapat tetapi, Imam Syafi’I dan Imam Malik menekankan untuk diwudhukan
[33].
7. Menyiramkan air ke seluruh badan bagian kanan dari atas pundak sampai ke kaki hingga bersih, kernudian dilanjutkan dengan bagian kirinya
[34].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُنَّ فِي غَسْلِ ابْنَتِهِ ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا
"Mulailah mencuci bagian badannya yang sebelah kanan dan tempat-tempat wudhu"
[35]
8. Kemudian menyiram dengan jumlah siraman gasal/ganjil (yaitu tiga, lima atau lebih) sebagaimana hadits Rosululloh Sholallahu’alaihi wa Salam menjelaskan :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ ابْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ فَأَعْطَانَا حِقْوَهُ فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ تَعْنِي إِزَارَهُ
“Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih daripada itu, menurut pendapatmu, dengan air dan daun bidara, dan pada akhirnya taruhlah kapur barus atau sedikit kapur barus. Maka bilamana sudah selesai beritahukanlah kepadaku. Maka setelah kami selesai, kami memberitahukannya kepada beliau maka beliau memberi kepada kami kainnya seraya sabdanya ; kenakanlah ini, yakni kainnya”
[36]
9. Memandikan dengan cara :
a. Membersikan rambut dengan sampho (untuk wanita, dalam keadaan terurai ), kepala muka dan leher sampai bersih
b. Kemudian membersihkan seluruh badan jenazah dengan menggunakan sabun dan sejenisnya sampai bersih
c. Pada saat membersihkan bagian perut, diurut perlahan beberapa kali sampai kebagian bawah.
10. Membersihkan jenazah dari bagian kotoran yang melekat padanya
[37]. Untuk bagian-bagian yang sulit dibersihkan dengan tangan gunakan sejenisnya cuttom both sehingga kotoran menjadi bersih, mulai dari :
a. Sela-sela kaki dan kukunya dibersihkan dan tidak perlu digunting
b. Sela-sela jarinya dan kukunya
c. Lubang hidung diusap dari luar
d. Rongga mulutnya diusap dengan kaus tangan perlahan-lahan
e. Daun telinga diusap seperti wudhu
f. Bekas kotoran mata di usap perlahan dengan kaus tangan atau kapas
g. Jika ada bekas plester dibersihkan dengan minyak (baby oil atau minyak kelapa )
h. Bekas kotoran lain dibersihkan dengan air sabun
11. Selanjutnya, jenazah dimandikan dengan air yang mengandung kapur barus
12. Jika mayatnya adalah wanita maka jalinlah rambutnya tiga pintal, kemudin diletakkan dibelakang.
[38]
13. Keringkanlah dengan handuk atau semisalnya
14. Hendaklah mayat pria dimandikan oleh pria dan wanita oleh wanita. Dan dibenarkan bagi salah seorang dari suami istri memandikan lainnya
[39]. Sebagaimana sabda Nabi Sholallahu’alaihi wa Salam :
15. Tutupilah kalau ada cela atau cacat tubuhny(hakim)
16. Tayamum dimungkinkan dilakukan terhadap jenazah, apabila :
Karena tidak ada air
karena badannya semakin hancur jika dimandikan
Jika laki-laki meninggal ditempat yang tida ada laki-laki lain, atau sebaliknya bagi perempuan
[40]. Berdasarkan sabda Nabi Sholallahu’alaihi wa Salam :

Kesalahan-Kesalahan dan Bid’ah Dalam Memandikan Jenazah
1. Kurang menjaga aurat simayat
Hal ini bertentangan dengan sabda Nabi Saw yang artinya :
“ Dari Aisyah ra. Ia berkata : ketika mereka ingin memandikan Rosululloh Saw mereka berkata, demi Alloh kami tidak mengerti apakah kami copot semua pakain Rosululloh Saw seperti mencopot pakaian mayat selainnya atau tidak? Kemudian tatkala mereka berselisih pendapat itu, lalu Alloh menghendaki mereka tidur ( ketiduran) sehingga tidak ada seorang pun dari mereka, melainkan kedengaran suara didanya, kemudian pada mereka dibisikan oleh suara orang dari arah rumah itu, tanpa mereka ketahui siapa dia. Isi bisikannya itu “ mandikanlah Rosululloh Saw dalam keadaan berpakaian. Lalu mereka memandikan jenazah beliau dalam keadaan memakai baju. Mereka tuangkan air itu diatas bajunya itu dan mereka menggosoknya dengan bajunya itu, bukan dengan tangan langsung ( HR Abu Daud)
[41]
2. Ikhtilat (campur baur antar laki-laki dan perempuan dalam memandikan mayat yang bukan muhrimnya[42]. Melihat hadits diatas yang bersumber dari Ummu Athiyah RA.
3. Orang yang memandikan mayat membaca dzikir-dzikir tertentu pada tiap-tiap anggota badan yang dicucinya.
4. Mengibaskan rambut mayat perempuan diantara dadanya.
5. Menggunakan kembang baik yang dirangkai atau yang tidak dan meletakkannya didalam air tersebut. Hal ini bukan dari Islam, melainkan suatu adat istiadat dimasyarakat luas, khususnya adalah masyarakat jawa yang mana kebiasaan ini masih berbau dengan adat atau budaya agama hindu. Padahal telah dijelaskan dalam sebuah hadits :
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan, yang dalam itu tdak ada perintah dariku, maka ia tertolak”
[43].
6. Menggunakan sisa air untuk cuci muka, agar tidak terkena sawan.
Ini merupkan perkara yang batil, karena tidak terdapat dalil satupun dari nash, baik itu Al qur’an ataupun Hadits. Bahkan perbutan yang seperti ini akan mengarah pada perbuatan syirik, yaitu mempercayai adanya kekuatan ghaib dari sisa air yang digunakan untu memandikan mayat.
Sekiranya orang-orang yang mengamalkan perbuatan ini, apabila ditanya, mereka akan menjawab, “inilah adalah perbuatan orang-orang tua dahulu” persis, seperti kaum musrikin tempo dulu. Allah mengisahkan tentang mereka dalam surat Al Baqarah ayat 170 ;
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAt“Rr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZø‹xÿø9r& Ïmø‹n=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«ø‹x© Ÿwur tbr߉tGôgtƒ ÇÊÐÉÈ
“ dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".


MENGAFANI JENAZAH

Hukumnya

Mengkafani mayat dengan apa saja yang dapat menutup tubuhnya walau dengan sehelai kain, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Khabbab radhiyallahu’anhu ceritanya :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ عُدْنَا خَبَّابًا فَقَالَ هَاجَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُرِيدُ وَجْهَ اللَّهِ فَوَقَعَ أَجْرُنَا عَلَى اللَّهِ فَمِنَّا مَنْ مَضَى لَمْ يَأْخُذْ مِنْ أَجْرِهِ مِنْهُمْ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَتَرَكَ نَمِرَةً فَإِذَا غَطَّيْنَا رَأْسَهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ وَإِذَا غَطَّيْنَا رِجْلَيْهِ بَدَا رَأْسُهُ فَأَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُغَطِّيَ رَأْسَهُ وَنَجْعَلَ عَلَى رِجْلَيْهِ شَيْئًا مِنْ الْإِذْخِرِ وَمِنَّا مَنْ أَيْنَعَتْ لَهُ ثَمَرَتُهُ فَهُوَ يَهْدِبُهَا
“Kami bearhijrah bersama Rasulullah saw, dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tentulah akan kami terima pahalanya dan Allah. Karena di antara kami ada yang meninggal dunia sebelum memperoleh hasil duniawi sedikitpun juga. Misalnya Mush’ab bin Umir, ia tewas dibunuh di perang Uhud dan tidak ada buat kain kafannya kecuali selembar kain badah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya dan jika kakinya ditutup, maka terbukalah kepalanya. Maka Nabi saw. menyuruh kami agar menutupi kepalanya dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya.
[44]

Hal-Hal yang Diutamakan

Mengenai kain kafan ini disunnahkan sebagai berikut :
1. Hendaknya bagus, bersih dan menutupi seluruh tubuh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Qatadah, juga oleh Tirmidzi yang menyatakan sebagai hadits hasan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَلِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ
“Jika salah seorang di antara kamu menyelenggarakan saudaranya, hendaklah ia memilih kain kafan yang baik.”
[45]
2. Hendaknya Berwarna Putih
Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas, juga oleh Tirmidzi yang menyatakan keshahihannya bahwa Nabi saw. bersabda :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ.
“Pakailah di antara pakain-pakaianmu yang putih warnanya, karena itu merupakan pakaian yang terbaik dan kafanlah dengan itu jenazah-jenazahmu.”
[46]
3. Hendaklah Diasapi dengan Kemenyan dan Wangi-wangian.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, bahwa Nabi saw. bersabda :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا قُطْبَةُ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَجْمَرْتُمْ الْمَيِّتَ فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا.
“Jika kamu mengasapi mayat, maka asapilah tiga kali”.
[47]
Abu Sa’id, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas mewasiatkan agar kain kafan mereka diasapi dengan kayu cendana.
4. Bagi Laki-laki hendaknya tiga lapis, sedangkan bagi wanita lima lapis.
Diriwayatkan oleh jama’ah dari Aisyah,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ.
“Nabi saw. dikafani dengan tiga kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan serban.”
[48]
At-Tirmidzi berkata, “Hal ini menjadi amalan bagi kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat nabi dan juga bagi lainnya.”
Katanya pula, “Sufyan At-Tsauri berkata, ‘Mayat laki-laki dikafani dengan tiga lapis kain. Boleh juga sehelai kemeja ditambah dua lapis kain lagi, dan boleh pula dengan tiga helai kain saja. Tetapi selembar kain pun cukup, tetapi kalau ada, lebih utama tiga helai. Ini juga merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad, dan Ishak. Dan kata mereka, ‘Mengenai wanita hendaknya dikafani dengan lima helai kain’.
Ummu Athiyyah meriwayatkan bahwa Nabi saw. telah mengulurkan kepadanya kain sarung, baju selendang, dan dua helai untuk pembalut tubuh mayat.
[49]
Kaifiyyah Mengafani Jenazah[50]

1. Kafan yang digunakan untuk mayat hendaklah dibeli dari hartanya, sekalipun ia tidak mewariskan kecuali harta yang digunakan unutk membeli kain kafan itu. Hal ini berdasarkan hadits Khabbab yang menceritakan kisah matinya sahabat Mush’ab bin Umair pada perang Uhud, “Kami bearhijrah bersama Rasulullah saw, dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tentulah akan kami terima pahalanya dan Allah. Karena di antara kami ada yang meninggal dunia sebelum memperoleh hasil duniawi sedikitpun juga. Misalnya Mush’ab bin Umir, ia tewas dibunuh di perang Uhud dan tidak ada buat kain kafannya kecuali selembar kain badah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya dan jika kakinya ditutup, maka terbukalah kepalanya. Maka Nabi saw. menyuruh kami agar menutupi kepalanya dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya. (HR. Bukhori)
2. Hendaklah kain kafan yang digunakan membungkus mayat mencukupi untuk menutup seluruh tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi saw. suatu hari berkhutbah dan menyebutkan bahwa salah seorang dari sahabatnya meninggal dan dikafani dengan kafan yang yang tidak cukup menutupi seluruh jasadnya dan dikebumikan pada malam hari, maka beliau mengecamnya, kecuali karena terpaksa melakukannya. Beliau kemudian bersabda :
إِذَا وَلِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ.
“Jika salah seorang di antara kamu menyelenggarakan saudaranya, hendaklah ia memilih kain kafan yang baik.” (HR. Ibnu Maajah)
3. Apabila kain kafan yang ada sempit sehingga tidak dapat menutupi seluruh bagian tubuh jenazah, maka hendaknya diutamakan menutupi bagian kepalanya dan apa yang dapat dijangkau. Sedangkan bagian yang tidak dapat dijangkau oleh kain kafan ditutupi dengan apa saja yang dapat dugunakan untuk menutupi. Hal ini berdasarkan hadits Khabbab bin Art seperti yang telah disebutkan di atas.
4. Lebih disukai dalam mengafani beberapa hal berikut.
a) Menggunakan kain kafan putih, berdasarkan sabda Rasulullah saw.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ.
“Pakailah di antara pakain-pakaianmu yang putih warnanya, karena itu merupakan pakaian yang terbaik dan kafanlah dengan itu jenazah-jenazahmu. (HR. Tirmidzi)
b) Hendaklah kain kafan yang digunakan sebanyak tiga kali lipatan, berdasarkan hadits dari Aisyah,
كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ.
“Nabi saw. dikafani dengan tiga kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan serban.” (HR. Bukhori dan Muslim).
c) Hendaklah pada satu lilitannya menggunakan kain yang bergaris apabila memungkinkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw ;
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِسْمَعيِلُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْكَرِيمِ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَقِيلِ بْنِ مَعْقِلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَهْبٍ يَعْنِي ابْنَ مُنَبِّهٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ
“Apabila salah seorang diantara kalian meninggal sedang ia mampu, maka hendaklah menggunakan kain Hibarah.”
[51]
d) Memberikan wewangian dengan parfum tiga kali. Sabda Rasulullah saw.,
إِذَا أَجْمَرْتُمْ الْمَيِّتَ فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا.
“Jika kamu memberikan wewangian setanggi, maka hendaklah lakukan dengan tiga kali” (HR. Ahmad).
Akan tetapi ini tidak mencakup mayat yang dalam kondisi mengenakan kain ihram. Hal ini berdasarkan sabda beliau yang mengisahkan tentang orang yang mati karen terjatuh dari untanya saat berihram.
5. Adapun ihwal mengkafani mayat perempuan, dalam hal ini sama dengan yang berlaku bagi laki-laki, disebabkan tidak adanya dalil khusus yang menerangkannya.
6. Tidak diperkenankan melucuti pakaian yang dikenakan seseorang yang mati syahid, tetapi harus dikuburkan bersamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. Ketika memerintahkan penguburan para syuhada perang Uhud, “Kafanilah mereka dengan pakaian yang melekat di badannya.” (HR. Ahmad)
7. Bagi orang yang berihram maka dikafani dengan dua helai pakaian ihramnya. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah saw. ketika memerintahkan seorang yang berihram mati terjatuh dari untanya.
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَوْقَصَتْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.
“Ketika seorang laki-laki sedang wukuf bersama Rasulullah di Arafah, tiba-tiba ia terjatuh dari kendaraannya dan menyebabkan lehernya patah. Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi saw, belaiau bersabda, ‘Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara serta kafanilah dengan kainnya itu dan jangan diberi minyak wangi, serta jangan ditutup kepalanya, karena Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan membaca talbiyah.”
[52]

Bid’ah-Bid’ah Seputar Mengafani Jenazah

Kenyataan yang terjadi di masyarakat kita banyak sekali perawatan jenazah yang sangatlah jauh dari sunnah Rasulullah saw. Dalam hal persiapan jenazah, memandikan jenazah, mensholatkan jenazah, mengkafani, hingga menguburkan jenazah. Dalam hal mengkafani banyak sekali kesalahan-kesalahan dan bid’ah-bid’ah yang dilakukan di masyarakat. Berikut ini beberapa bid’ah-bid’ah dalam hal mengkafani jenazah.

1. Berlebih-lebihan dalam Kain Kafan
[53]

Hendaknya kain kafan itu adalah kain yang bagus tetap tidak terlalu mahal harganya atau hingga seseorang memaksakan sesuatu yang diluar kemampuannya. Tidak diperkenankan bermewah-mewahan dalam memberikan kain kafan, dan tidak diperkenankan pula melebihi tiga kali lilitan, sebab yang demikian berarti menyalahi yang dilakukan Nabi saw. Selain berdasarkan alasan tersebut, perilaku seperti ini juga mengandung unsur menyia-nyiakan atau membuang-buang harta padahal praktik demikian dilarang dalam syari’at, terlebih dalam kondisi orang yang hidup (keluarga yang ditinggalkan) lebih berhak unutk memanfaatkannya.
Abu Ath-Thayyib berkata, “Memperbanyak lilitan kain kafan dan menggunakan kain yang mahal-mahal bukanlah perbuatan terpuji.”
[54] Kalau saja tidak ada penjelasan melalui nash-nash syari’at dapatlah kita katakan bahwa mengkafani mayat dengan berlebihan termasuk menghambur-hamburkan harta atau pemborosan. Sebab yang demikian tidaklah memberi manfaat bagi si mayat, dan tidak pula manfaatnya kembali kepada orang-orang yang hidup (ahli warisnya).
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. dikafani dengan tujuh kain adalah riwayat munkar yang secara tunggal diberitakan oleh perawi yang buruk hafalannya.
[55]

2. Mengkafani Jenazah dengan Kain Sutra

Tidak boleh jika seorang laki-laki itu dikafani dengan kain sutra, tetapi hal itu diperbolehkan bagi wanita. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah mengenai sutra dan emas. Akan tetapi kebanyakan ulama menganggap makruh mangambilkan kain sutera untuk kain kafan wanita karena termasuk mubadzir, menyia-nyiakan harta dan berlebih-lebihan yang dilarang agama. Mereka membedakan antara yang dipakai sebagai perhiasan pada waktu hidup dan dijadikan sebagai sebagai kain kafan setelah mati.
[56]

3. Menghiasi Jenazah

Terkadang kita jumpai jenazah yang dihias, baik itu laki-laki atau wanita. Baik itu dihias dengan menambahkan perhiasan (gelang, kalung atau cincin), kosmetik, serban, tutup kepala, sepatu dan yang lain sebagainya. Hal ini jelas sangat menyelisihi sunnah Rasulullah saw. Karena Rasulullah saw. sendiri dikafani hanya dengan tiga kain putih mulus, tanpa menggunakan tambahan yang lainnya baik itu kemeja ataupun serban. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah dari Aisyah r.a.,
كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ.
“Nabi saw. dikafani dengan tiga kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan serban.” (HR. Bukhori dan Muslim).

4. Mengharuskan Jenazah Diikat dengan Tujuh Ikatan Tali Ketika Mengkafani

Taerkadang suatu amalan yang bukan merupakan sunnah menjadi wajib lantaran kejahilan masyarakat tentang pengetahuan Islam. Termasuk dalam hal perawatan jenazah. Telah menyebar dikalangan masyarakat bahwa ketika mengkafani mayat maka wajib menggunakan tujuh ikat tali untuk mengikat mayat ketika selesai dikafani. Kemudian ketika hendak dikuburkan maka tali itu harus dilepas. Ini merupakan suatu hal yang sangat keliru dan menyelisihi sunnah Rasulullah saw. Masalah mengenai tali ikatan kafan pada jenazah jelas tidak ada nash yang menyuruh untuk melakukan yang demikian. Juga tidak ada keterangan yang kita dapati dari pendapat para Ulama dalam menafsirkan hadits tentang mengkafani jenazah menurut riwayat Ahmad, Muslim dan Abu Dawud dari jabir bin Abdullah, juga hadits riwayat Bukhari dari Aisyah dan riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dari Abu Qatadah dalam menafsirkan hadits-hadits tersebut di atas, antara lain Ulama menyebutkan, “Jika dikhawatirkan terbuka, boleh diikat, dan sesudah diletakkan ke dalam kubur dilepaskan lagi ikatan itu dengan tidak merobekkan kain kafan.”
Dari tafsiran itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memang secara jelas tidak ada tuntunan untuk mengikatkan tali pada kain kafan diwaktu mengafani jenazah. Adanya orang melakukan hal itu, kalau sekiranya jenazah akan terbuka. Jadi dari segi hati-hati atau ihtiyat. Karena tidak ada tuntunan untuk diikat, maka tali pengikat kain kafan itu dilepas pada waktu jenazah dikuburkan.
[57]

5. Menuliskan Do’a pada kain Kafan
[58]

Tidak ada satu nash pun yang menyebutkan adanya perintah untuk menuliskan do’a pada kain kafan si mayat. Bahkan lafadz do’anya pun juga tidak pernah dijumpai pada hadits-hadis Nabi saw. Apabila hal ini dilakukan maka tidak diragukan lagi telah menyelisihi sunnah Rasulullah saw.

Shalat Janazah
1. Hukum Shalat Jenazah Hukum shalat atas mayat muslim adalah fardhu kifayah berdasar perintah Nabi saw. tentangnya yang termaktub dalam banyak hadist.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنََّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ. فَصَلَّى عَلَيْهِDidatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.”
[59]
2. Keutamaan shalat jenazah
Rosulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ انْتَظَرَ حَتَّى يُفْرَغَ مِنْهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ قَالُوا وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barang siapa yang menshalatkan jenazah, maka baginya satu qirath,dan barangsiapa yang menyaksikan hingga menguburkannya, maka baginya dua qirath,shabat bertanya seperti apa dua qirath?rosul menjawab seperti dua gunung
[60].
3. Syarat-Syarat Shalat Jenazah
shalat jenazah termasuk dalam ibadah shalat maka syaratnya pun sama dengan syarat shalat fardlu baik berupa kebersihan tempat secara sempurna maupun kesucian dari hadats besar maupun kecil,menutup aurat dan menghadap ke arah kiblat.
Di riwayatkan dari nafi’ oleh malik bahwa Abdullah bin umar r.a mengatakan “tidak boleh seseorang menshalatkan jenazah kecuali dalam keadaan suci”.
4. Dua Orang Pengecualian Yang Tidak Wajib Dishalati
· Anak kecil yang belum baligh
مَاتَ إِبْرَاهِيْمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيَةَ عَشْرَ شَهْرًا، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَAisyah r.a. berkata, “Telah meninggal dunia Ibrahim, putera Nabi saw. dalam usianya yang kedelapan belas bulan, dan Rasulullah saw. tidak menshalatinya
[61].”
· Orang yang Gugur sebagai Syahid
أَنَّ شُهَدَاءَ أُحُدٍ لَمْ يُغَسَّلُوْا، وَدُفِنُوا بِدِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ غَيْرُ حَمْزَةُDari Anas r.a. (ia berkata), “Bahwa para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dikebumikan bersama darahnya, dan tidak (pula) mereka dishalati.”
[62]
5. Makin Banyak Orang Yang Menshalati Jenazah Semakin Afdhal Bagi Sang Mayat Dan Lebih Bermanfaat.
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ أَنْ يَكُونُوا مِائَةً فَيَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Aisyah meriwayatkan bahwa Rosulullah saw bersabda “Tidaklah seseorang meninggal dunia kemudian dishalati oleh seratus orang muslim semuanya memberikan syafa’at kepadanya.”
[63]
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جِنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Dari ibnu Abbas bahwa ia mendengar Rasulullah saw. Bersabda “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan pasti Allah memperbolehkan mereka memberi syafa’at kepadanya."
[64]
6. Dianjurkan Membentuk Tiga Shaf Di Belakang Imam, Sekalipun Mereka Berjumlah Sedikit
عَنْ مَالِكِ بْنِ هُبَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ بَلَغُوا أَنْ يَكُونُوا ثَلَاثَةَ صُفُوفٍ إِلَّا غُفِرَ لَهُ قَالَ فَكَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ يَتَحَرَّى إِذَا قَلَّ أَهْلُ جَنَازَةٍ أَنْ يَجْعَلَهُمْ ثَلَاثَةَ صُفُوفٍ
Dari Malik bin Hubairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang yang wafat, lalu dishalati oleh tiga shaf dari kalangan orang muslim, pasti (diampuni dosa-dosanya).” Marstad berkata, adalah Malik apabila orang-orang yang akan shalat jenazah sedikit jumlahnya, dia membagi mereka menjadi shaf, berdasar hadist ini
[65].
Bila ternyata jenazahnya banyak dan bercampur antara jenazah laki-laki dan perempuan, lalu dishalati satu per satu, maka ini adalah hukum asalnya. Namun jika dishalati sekaligus hukumnya boleh, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki lebih dekat ke arah imam, sedangkan yang perempuan lebih dekat ke arah kiblat. Berdasar riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a. bahwa ia pernah menshalati sembilan jenazah sekaligus, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki dekat ke arah imam dan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat, lalu menjajarkannya bershaf-shaf dan meletakkan jenazah Ummu Kulsum binti Ali, isteri Umar bin Khatab bersama puteranya yang bernama Zaid. Sementara yang menjadi imam pada waktu itu adalah Sa’id bin ‘Ash, sedang diantara jama’ah terdapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu diletakkan jenazah anak-anak lebih dekat ke imam. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata, “Maka aku mengingkari cara shalat ini.” Kemudian kuperhatikan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu aku tanya (mereka), “Apa – apaan ini?" Maka jawab mereka, ”Inilah sunnah.”
[66]
7. Tempat Berdirinya Imam
عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ فَجِيءَ بِجِنَازَةٍ أُخْرَى بِامْرَأَةٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ فَقَالَ الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنْ الْجِنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْ الرَّجُلِ وَقَامَ مِنْ الْمَرْأَةِ مُقَامَكَ مِنْ الْمَرْأَةِ قَالَ نَعَمْ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ احْفَظُوا
Dari Abu Ghalib al-Khayyath berkata, Aku menyaksikan Anas bin Malik r.a. menshalati mayat laki-laki, dia berdiri persis pada posisi kepalanya. Tatkala jenazah laki-laki diangkat, didatangkan kepadanya jenazah perempuan dari kaum Quraisy atau kaum Anshar, lalu dikatakan kepadanya.”Wahai Abu Hamzah, ini jenazah seorang wanita puteri si Fulan maka shalatilah ia.” Kemudian dia menshalatinya dengan berdiri tepat di bagian tengahnya. Di antara kami al-‘Ala bin Ziyad al-Adawi, tatkala ia melihat ada perbedaan posisi berdiri Abu Hamzah ketika menshalati laki-laki dengan menshalati perempuan, maka ia bertanya, “Wahai Abu Hamzah, Apakah memang demikian cara Rasulullah saw. berdiri menshalati jenazah sebagaimana engkau menshalati laki-laki dan menshalati perempuan?” Jawabnya, “Ya (betul).” Maka al-‘Ala menoleh kepada kami dan berkata, “Hendaklah kalian memelihara (sunnah Nabi saw.) ini.”
[67]
8. Cara Shalat Jenazah
· Rukun-rukunnya
Dalam shalat jenazah terdapat beberapa rukun yang seharusnya di terapkan dalam shalat jenazah adapun beberapa rukun tersebut adalah sebagai berikut:
1. berniat
hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT :
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus(Al Bayyinah:5)dan hadits rosulullah yang mahsyur
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ……..
Sesungguhnya ssegala perbuatan itu tergantung pada niatnya……… (HR Bukhari, Muslim)
2. Berdiri bagi yang mampu
ini merupakan rukun menurut jumhur ulama’ maka dari itu tidaklah sah shalat seseorang sambil berkendaraan atau duduk tanpa udzur.Ibnu Qudamah dalam kitabnya Almughni mengatakan: “tidak boleh menshalatkan jenazah di atas kendaraan karena hal itu menghalangi sikap berdiri yang di wajibkan”
3. Empat kali takbir
Shalat jenazah di lakukan dengan empat kali takbir sebagaimana hadist dari Abu Hurairah :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) tentang kematian Najasyi pada hari wafatnya, kemudian beliau keluar menuju tempat yang biasa dipakai mengerjakan shalat jenazah, lalu mengatur shaf mereka, lantasi takbir empat kali
[68].
4. Mengangkat tangan pada waktu takbir
Disyari’atkan mengangkat tangan pada saat takbir Kemudian menempatkan tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri di atas pergelangan dan atas lengannya, lalu menempatkannya di dadanya.
Imam As syaukani berkata : tidak ada keterangan yang dapat di jadikan alasan dari nabi SAW Mengenai masalah mengangkat tangan kecuali pada saat takbir yang pertama.
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Adalah para sahabat pernah diperintah (oleh Nabi saw.) agar setiap orang (yang shalat) meletakkan tangan kanannya pada lengan kirinya dalam shalat.”
Kemudian sesudah takbir pertama, membaca al-Fathihah dan surah yang lain :
Dari Thalhah bin Abdullah bin ‘Auf r.a. berkata, “Aku pernah shalat di belakang Ibnu Abbas r.a. dalam shalat jenazah, lalu ia membaca surat al-Fatihah dan surah (yang lain) dengan suara keras hingga mendengarnya. Tatkala usai shalat, aku pegang tangannya lalu kutanyakan hal tersebut kepadanya, maka ia menjawab, “Sesungguhnya aku mengeraskan suara agar kalian mengetahui, bahwa sesungguhnya hal itu adalah sunnah Nabi saw. dan (sesuatu yang) haq”
[69]. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:119, Membaca ayat dengan lirih (tanpa bersuara) berdasar hadist berikut :
Dari Abu Amamah bin Sahl r.a. berkata, “Menurut sunnah Nabi saw. dalam menshalati jenazah adalah membaca al-Fatihah pada takbir pertama secara pelan, kemudian bertakbir tiga kali, lalu memberi salam.” (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal : 111, dan Nasa’i IV:75).
Kemudian takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi saw. berdasar hadits Abu Umamah r.a. di atas bahwa ia pernah menerima informasi dari seorang sahabat Nabi saw. dengan mengatakan, bahwa menurut sunnah Nabi saw. dalam menshalati agar imam bertakbir, kemudian membaca surah al-Fatihah dengan pelan sesudah takbir pertama, kemudian membaca shalawat kepada Nabi saw. dan mengikhlaskan do’a untuk jenazah pada tiga takbir. Tidak membaca apa-apa sesudahnya, kemudian memberi salam dengan pelan
[70]
Hendaklah mendo’akan mayat dengan do’a-do’a yang bersumber dari Nabi saw., diantaranya ialah :
Dari ‘Auf bin Malik r.a. berkata, Rasulullah saw. menshalati jenazah, lalu kuhafalkan do’a darinya, yaitu Beliau berdo’a;Ya Allah, limpahkan ampunan kepadanya dan rahmatilah Dia, bebaskanlah dia dan ma’afkanlah, dan muliakanlnya kedatangannya, lapangkanlah tempat masuknya, dan sucikanlah dia dengan air, salju, dan embun, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahannya sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran (noda) dan gantilah baginya sebuah rumah yang lebih baik daripada rumahnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, isteri yang lebih baik daripada isterinya dan masukkanlah dia ke dalam surta dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka).” Ia berkata, “Aku mendambakan seandainya akulah yang menjadi mayat itu.”
[71]
Berdo’a antara takbir dan salam untuk jenazah disyari’atkan berdasar hadits :
Dari Abi Ya’fur dari Abdullah bin Abi Aufa r.a. ia berkata, aku menyaksikannya (ya’ni menyaksikan Ibnu Abi Aufa) bertakbir dalam shalat jenazah empat kali, kemudian berdiri sejenak-ya’ni berdo’a kemudian berkata, “Apakah kalian menyangka aku bertakbir lima kali?” Jawab mereka, “Tidak,” Ia berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW bertakbir empat kali.” (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal:126, dan Baihaqi IV:35).
Kemudian mengucapkan dua salam seperti dalam shalat wajib, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, Ada tiga hal yang selalu dikerjakan Rasulullah saw., namun justeru ditinggalkan oleh masyarakat; salah satunya ialah mengucapkan salam dalam shalat jenazah seperti salam dalam shalat (wajib).
[72]
Namun boleh mencukupkan dengan mengucap salam sekali saja, berdasarkan hadits :
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. menshalati jenazah dengan empat kali takbir dan sekali salam. (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:128, Mustadrak Hakim I:360, dan Baihaqi IV:43).
9. Tempat Melaksanakan Shalat Jenazah
Shalat jenazah boleh dilaksanakan di dalam masjid berdasar riwayat berikut ini:
Dari Aisyah r.a. bertutur, tatkala Sa’ad bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi saw. menyuruh agar jenazahnya diletakkan di masjid sehingga mereka dapat menshalatinya. Para pengusung jenazah pun kemudian meletakkannya di serambi dan mereka (para isteri Nabi saw. ) menshalatinya. Kemudian sampailah informasi kepada mereka (para isteri Nabi saw.) bahwa banyak orang laki-laki mengecam kejadian tersebut, dan mereka berkomentar, “Sebelumnya tidak pernah jenazah dimasukkan ke dalam masjid.” Sikap mereka itu segera sampaikan kepada Aisyah, lalu ia berkata, “Betapa tergesa-gesanya mereka mencela suatu perbuatan yang belum mereka ketahui dasarnya. Mereka mencela kami karena kami memasukkan jenazah ke dalam masjid, padahal Rasulullah saw. tidak menshalati Suhail bin Baidhaa’, kecuali di tengah-tengah masjid,”
[73]
Namun yang lebih afdhal shalat jenazah dilaksanakan di luar masjid, di tempat yang memang dipersiapkan untuk mengerjakan shalat jenazah sebagaimana sudah dimaklumi bahwa pada masa Nabi saw., pada umumnya shalat jenazah dilakukan di luar masjid.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ada sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua orang dari kalangan mereka yang berzina, yang satu laki-laki dan satu (lagi) perempuan. Kemudian beliau memerintah agar keduanya dirajam (dilempari dengan batu) di dekat masjid.
[74]
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) berita kematian (raja) Najasyi pada hari wafatnya, lalu beliau keluar ke tempat shalat (yang biasa dipakai shalat jenazah), kemudian beliau mengatur shaf mereka, lantas bertakbir empat kali.”
[75]
10. kesalahan-kesalahan dalam shalat jenazah
· Tidak Boleh Mengerjakan Shalat Jenazah Pada Waktu-Waktu Terlarang, Kecuali Kondisi Darurat
Waktu-waktu yang jenazah tidak boleh dimakamkan dan tidak boleh dishalatkan:
Dari ‘Uqbah bin Amir r.a, berkata, “Ada tiga waktu yang Rasulullah saw. melarang kita mengerjakan shalat, atau mengubur mayat-mayat kita, yaitu ketika matahari terbit hingga naik, (kedua) ketika matahari berdiri tegak hingga bergeser ke arah barat, dan (ketiga) ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.” (Shahih : Shahih Ibnu Majah no: 1233, Muslim I:568 no: 831, ‘Aunul Ma’bud VIII: 481 no: 3176, Tirmidzi II: 247 no:1035, Nasa’i I:275 dan Ibnu Majah I:481 no:1519).
· Tidak boleh shalat jenazah di tengah-tengah kuburan,
berdasar hadits Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi saw. pernah melarang (umatnya) shalat jenazah di antara kuburan (Sanad Hasan : Ahkamul Janaiz hal:108. Syaikh Al Abani berkata, Diriwayatkan juga oleh Abu Dawad ath’Thayalisi II: 80 no:1).
· Berdiri dengan posisi di kepala jenazah perempuan dan di tengah jenazah laki-laki
Hal ini sering terjadi di masyarakat padahal ini sangat menyelisihi sunnah Rosul sebagaimana di terangkan sebelumnya.bahwa posisi imam adalah di kepala jenazah laki-laki dan di perut jenazah perempuan.
PENGUBURAN JENAZAH

Pendahuluan
Mengubur mayat , ialah menimbun jasad secara sempurna dengan tanah, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam QS abasa : 21( ثمّ أما ته فأقبره),
[76]

Kaum muslimin sepakat , atas kewajiban mengubur jenazah , yang hukumnya adakah fardu kifayah
[77] sebagaimana Allah Subhanahu Wata’Ala berfirman : fi

KAIFIYAH MENGUBUR JENAZAH
PEMBERANGKATAN JENAZAH
1. Jenazah Hendaknya Disegerakan Untuk Dikuburkan
[78]

Berdasarkan hadits dari abu hurairoh yang berbunyi
حدثنا مسدّد، ثنا سفيان، عن الزهري، عن سعيد بن المسيب، عن أبي هريرة يبلغ به النبيَّ صلى اللّه عليه وسلم قال:"أسرعوا بالجنازة فإِن تك صالحةً فخيرٌ تقدمونها إليه، وإن تك سوى ذلك فشرٌّ تضعونه عن رقابكم".

“ Dari abu hurairoh RA , bahwasanya rasulullah SAW bersabda , percepatlah jenazah kalau jenazah itu baik kamu telah mendekatkanya kepada yang baik , dan kalau ia tidak demikian , maka kamu akan melepaskan yang jelek itu dari bahumu ”
[79]


2. Pengiring / pengantar jenazah hendaknya berjalan disekitarnya dan diam. Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Mughiroh.



Dari mughiroh bahwasanya nabi SAW bersabda : “ orang yang berkendaraan itu dibelakang jenazah , dan yang berjalan kaki didepannya dekat dari padanya dari arah kanan kirinya ”
[80]

Juga bersdasarkan hadits lain

“ orang yang berkendaraan itu dibelakang jenazah , yang berjalan kaki dimana yang dikehendakinya (HR. ahmad , nasai, dan tirmidzi )
[81]

Atau berdasarkan hadits lain dari ibnu umar



“ dari ibnu umar, bahwa ia melihat nabi SAW, serta abu bakar dan umar berjalan dimuka jenazah “
[82]


3171 ، حدثني رجل من أهل المدينة، عن أبي هريرة،عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: "لاتتبع الجنازة بصوتٍ ولا نارٍ".

Hadits dari seorang laki-laki penduduk madinah , dari abu hurairoh ra , dari nabi sholallahualaihiawasalam bersabda : “ janganlah kamu mengiringi jenazah dengan bersuara dan …..

3. Bagi wanita hendaknya tidak mengiringi jenazah
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh bukhori dari ummu athiyah

1219 - حدثنا قبيصة بن عقبة: حدثنا سفيان، عن خالد، عن أم الهذيل، عن أم عطية رضي الله عنها قالت:نهينا عن اتباع الجنائز، ولم يعزم علينا.
dari ummu athiyah ra , dia berkata , kami dilarang mengiring jenazah walaupun tidak dilarang keras bagi kami (muttafaqun alaihi)
[83]
4.bagi orang tidak mengiring jenazah hendaklah berdiri ketika ada jenazah yang lewat meskipun itu dari kalangan nasrani atau yahudi . hal ini berdasarkan hadits dari muadz bin fadholah
حدثنا معاذ بن فضالة: حدثنا هشام، عن يحيى، عن عبيد الله بن مقسم، عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال:مرت بنا جنازة، فقام لها النبي صلى الله عليه وسلم وقمنا له، فقلنا يا رسول الله، إنها جنازة يهودي؟ قال: (إذا رأيتم الجنازة فقوموا).
Berasal dari muadz bin fadholah : dari hisyam, dari yahya dari Abdullah muqosim dari jabir bin Abdullah ra , dia berkata aku melihat jenazah , maka rasulullah SAW berdiri dan kamipun ikut berdiri untuk jenazah itu, maka kami berkata , Ya Rasulullah ! bukankah dia itu jenazah seoorang yahudi ? maka Rasul bersabda apabila kamu melihat jenazah maka berdirilah .
[84]

Dalam hadist lain rasul bersabda
كان سهل بن حنيف، وقيس بن سعد، قاعدين بالقادسية، فمروا عليهما بجنازة فقاما، فقيل لهما: إنهما من أهل الأرض، أي من أهل الذمة، فقالا: إن النبي صلى الله عليه وسلم مرت به جنازة فقام، فقيل له: إنها جنازة يهودي، فقال: (أليست نفسا).
Sesungguhnyanabi Muhammad SAW melihat jenazah dan berdiri , maka dikataktakan kepada beliau , sesungguhnya dia itu adalah jenazah yahudi , maka rasul Bersabda : bukankah dia juga punya jiwa ?
[85]

PENGUBURAN JENAZAH
1. Menyiapkan liang kubur dan liang lahad (lubang galian di dalam liang kubur yang digali sepanjang liang kubur, di bagian tengah atau di tepi liang kubur sebagai tempay mayat),liang lahad agak diluaskan pada bagian kaki dan kepala. Membuat liang lahad merupakan sebuah keutamaan saja, bukan kewajiban.
Diriwayatkan bahwa : “Dari ‘Amir bin Sa’ad, sesungguhnya Sa’ad bin Abi Waqash ketika dia sakit keras sampai dia meninggalnya pernah berkata : “Buatlah liang lahad yang agak dalam, dan tancapkanlah bata di atas pusaraku, sebagaimana yang pernah dilakukan atas pusara Rasulullah Saw”. (HR. Muslim : 487)

2. Setelah sampai di pemakaman , hendaknya seseorang jangan duduk terlebih dahulu sebelum jenazah sampai dan diletakkan .
[86]
hal ini sesuai dengan hadits yang bersumber dari muslim
عن أبي سعيد. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إذا اتبعتم جنازة فلا تجلسوا حتى توضع".
Dari abi said dia berkata : rasulullah sholallahu alaihi wasalam bersabda, “ apabila kamu mengiring jenazah, maka jangan lah kamu duduk sampai jenazah itu diletakan”

حدثنا أبو سلمة بن عبدالرحمن عن أبي سعيد الخدري ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:"إذا رأيتم الجنازة فقوموا. فمن تبعها فلا يجلس حتى توضع".
Berasal dari abi salamah bin abdurohman, dari abi said alkhudri,bahwasanya rasullullah SAW brsabda “ apabila kamu melihat jenazah maka berdirilah, maka barang siapa yang mengiringnya, janganlah duduk sehingga mayat di letakkan”

3. hendaknya lubang yang disediakan itu dalam dan baik
hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari




4. buatkanlah liang lahat dan siapkan batu bata merah pada lubang tersebut


5. masukanlah mayat / jenazah dari arah kaki kemudian letakkan dan hadapkan ke kiblat
حدثنا عبيد اللّه بن معاذ، ثنا أبي، ثنا شعبة، عن أبي إسحاق، قال:أوصى الحارث أن يُصَلِّيَ عليه عبد اللّه بن يزيد فصلّى عليه، ثم أدخله القبر من قِبَل رجلي القبر وقال: هذا من السُّنَّة
“Dari Abu Ishaq, dia berkata :“Harits telah berwashiat (berpesan) agar Abdullah menyalatkannya, kemudian dia menyalatkannya, lalu memasukan ke dalam kuburan dari arah kaki kuburan:, dan dia (Abdullah bin Yaziid) berkata : “ini merupakan sunnah Rasulullah Saw”.
[87]
serta mengucapkan Bismillahi ‘Ala Millati Rasulillah / bismillahi wa‘ala sunnati rosulillah sholallahua alaihi wasalam
حدثنا محمد بن كثير، ح وحدثنا مسلم بن إبراهيم، ثنا همام، عن قتادة، عن أبي الصديق، عن ابن عمر
أن النبي صلى اللّه عليه وسلم كان إذا وضع الميت في القبر قال: "بسم اللّه، وعلى سنة رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم"، هذا لفظ مسلم.
“telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin katsir dan mengabarkan kepada kami muslim bin ibrohim , hamam, dari qotadah dari abi shodiq, dari ibnu umar ,:“ bahwasanya nabi Muhammad sholallahu alaihi wasalam, meletakkan mayat di dalam kubur dan beliau berkata “ bismillahi wa‘ala sunnati rosulillah sholallahua alaihi wasalam. Dan ini merupakan lafadz riwayat muslim” .
[88]

6. orang yang menerima mayat didalam liang lahat hendaknya orang yang tidak bersetubuh pada malam harinya, berdasarkan hadits anas,

، عن أنس رضي الله عنه قال:شهدنا بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله صلى الله عليه وسلم جالس على القبر، فرأيت عيناه تدمعان، فقال: (هل فيكم من أحد لم يقارف الليلة). فقال أبو طلحة: أنا، قال: (فأنزل في قبرها).

Dari anas ra, dia berkata , aku melihat anak perempuan rasulullah sholallahua alaihi wasalam, ketika dikubbur dan beliau duduk di sisi kuburanya maka aku melihat kedua mata beliau berlinang, maka beliau bersabda , adakah orang diantara kalian orang yang tidak bercampur tadi malam, ? maka jawab abu tolhah, : saya ! kemudian beliau bersabda “ turunlah kedalam kuburnya !” ia lalu turun kedalam kuburnya .
[89]

Dalam riwayat ahmad disebutkan bahwa , hadits yang berasal dari anas : Bahwasanya ruqoyah ketika meninggal , nabi sholallahu alaihi wasalam bersabda : janganlah masuk kedalam kubur, orang yang pada malam harinya berkumpul , maka Usman bin Affan tidak masuk kedalam kubur.
[90]
7. Apabila itu jenazah wanita hendaknya ditutupi kain agar tidak langsung dilihat oleh pengiring jenazah .


PENYIMPANGAN, LARANGAN DAN BID’AH-BID’AH SEPUTAR PENGUBURAN JENAZAH

Sebelum diberangkatkan , keluarga mayat melewati bawah keranda yang dibawa pengusung jenazah sebanyak 3 kali,

Menyapu / memebersihkan jalan yang akan dilewati pembawa jenazah dengan keyakinan kubur si mayat di luaskan oleh Allah

Menghiasi keranda dengan bunga-bunga yang dirangkai dan menutupi bagian kepala dengan payung.
Menabur bunga, beras, dan uang di jalan-jalan sepanjang pengiringan jenazah
Mengazani mayat ketika sudah diletakan di liang lahat
Larangan-larangan pada kuburan :
Menembok dan meninggikan kuburan36.
Menginjak dan duduk di atas kuburan37.
8. Membuat bangunan di atas kuburan38
9. Mengubur jenazah di depan masjid.
10. Menulisi kuburan (pada nisannya)39.

ZIARAH KUBUR
Pengertian Ziarah Kubur
Ziarah berasal dari bahasa arab :زار-يزور-زيارة artinya mengunjungi
[91]
Kubur adalah persinggahan pertama sebelum manusia menuju alam keabadian akhirat[92]
Hikmah Dan Manfaat Ziarah Kubur
Ziarah kubur memiliki hikmah dan manfaat
[93], diantaranya adalah :
1) Dapat mengingatkan akhirat dan kematian sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibarat bagi orang yang berziarah
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرَ فَزُوْرُهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ بِالْأَخِرَةِ (رَوَاهُ مُسْلِمُ, ابو داود, ترميذي, والحاكم فى المستدرك)
Artinya:”Dahulu aku pernah melarang melarang ziarah kubur, maka berziarah kuburlah sebab hal itu mengingatkan akhirat.
( HR.Muslim,Abu Daud,Tirmidzi,dan Hakim 1/ 376(
2) Dapat mendo’akan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohon ampunan untuk mereka
رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِ لْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فيِْ قُلُوْبِنَا غِلّا لِلَّذِيْنَ اَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَءُوْفُ الرَّحِيْمْ )الحشر : 10)
Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami,dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian di hati kami,terhadap orang-orang yang beriman, ya tuhan kami, sungguh Engkau maha penyantun lagi maha penyayang ( Surat Alhasyr : 10)
3) Termasuk mengamalkan dan menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasululloh Saw
4) Untuk mendapatkan pahala dari Alloh Swt bagi orang yang berziarah

Hukum Ziarah Kubur

Di dalam kitab Minhajul Muslim disebutkan bahwa hukum ziarah kubur adalah dibolehkan karena dengan hal itu dapat mengingatkan terhadap akhirat
[94] berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرَ فَزُوْرُهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ بِالْأَخِرَةِ (رَوَاهُ مُسْلِمُ, ابو داود, ترميذي, والحاكم فى المستدرك 1\376)
Artinya:”Dahulu aku pernah melarang melarang ziarah kubur, maka berziarah kuburlah sebab hal itu mengingatkan akhirat.
( HR.Muslim,Abu Daud,Tirmidzi,dan Hakim(
Imam Ahmad Bin Abdurrahman Al-Maqdisi ra.berkata:” Ketahuilah orang yang tenggelam dan terlena dengan dunia maka hatinya akan lalai dari mengingat mati, dia tidak akan mengingatnya. Andaikan ingat, ia akan benci dan akan lari darinya, orang yang semacam ini,ingat mati tidak membawanya kecuali bertambah jauh dari Alloh Swt”
[95] ( Mukhtashor Minhaj Al-Qoshidin hal.482)
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang sunnahnya ziarah kubur, sebagaimana tidak ada perselisihan di kalangan mereka bahwa ziarah kubur bukanlah termasuk perkara yang hukumnya wajib
[96]
Adapun ziarah kubur bagi wanita maka hal ini terjadi perselisihan para ulama,diantaranya :
1) Mubah tidak makruh ini pendapat mayoritas Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah jika aman dari fitnah
[97]
2) Memakruhkan tapi tidak haram,ini pendapat Ahmad,mayoritas Syafi’iyah dan Hanafiyah pandapat ini mengompromikan antara dalil yang melarang dan membolehkan
3) Mengharamkan ini pendapat Malikiyah, Hanafiyah, inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taymiyah,Ibnu Qoyyim, dan Syeih Abdul Wahab dan para imam dakwah sesudahnya
[98]
لَعَنَ اللهُ زَوَّارَتِ الْقُبُوْرَ ( رواه احمد 2\ 337 ترميذي 1056 ابن ماجة 1576 وقال حديث حسن صحيح)
Rosululloh Saw bersabda : Alloh melaknat wanita-wanita yang suka berziarah kubur ( HR.Ahmad 2\337, Tirmidzi 1056, Ibnu Majah 1576, “Hadits ini hasan shohih”)
Imam Qurthubi berkata:” Laknat yang disebutkan dalam hadits ini hanya untuk para wanita yang sering ziarah kubur, karena lafazh haditsnya menunjukan makna banyak (Mubalaghoh)

Sunnah-Sunnah Ketika Ziarah Kubur
Adapun sunah dan tata cara ziarah kubur yang dilakukan oleh Rosululloh Saw adalah sebagai berikut :
a) Di sunahkan bagi orang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Rosululloh Saw dalam haditsnya:
كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا خَرَجُوْااِلَى اْلمَقَابِرِ فَكَانَ قاَ ئِلُهُمْ يَقُوْلُ : اَلسَلاَمُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَاِنَّا اِنْ شَا ءَ اللهُ للَاَ حِقُوْنَ اَسْأَ لُ اللهُ لنَاَ وَلَكُمُ الْعَا فِيَةَ(رواه مسلم : 975 النسائ: 4 94 احمد 5 353)
Adalah Rosululloh mengajari mereka bilamana pergi kekuburan,agar supaya membaca :” Assalamualaikum Ya Ahlad Diyar Minal Mukminin Wal Muslimin Wa Inna Insya Alloh Laahikuun Nas’alullohu Lana Walakumul A’fiyah”( H.R Muslim :975, Nasa’I 4\94, Ahmad 5\353)
b) Menghadap kiblat
Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rosululloh dalam haditsnya Rosullulloh Saw bersabda ;
لحَدِيْثِ اَلْبَرَاءُ اَنَّهُ جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لمَاَّ خَرَجَ اِلَى الْمَقَا بِرِ ( رواه احمد
Adalah Rosululloh Saw duduk menghadap kiblat ketika pergi berziarah kubur (HR.Ahmad)
c) Membuka alas kaki ketika memasuki kuburan
[99]

حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ شَيْبَانَ عَنْ خَالِدِ بْنِ سُمَيْرٍ السَّدُوسِيِّ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ بَشِيرٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ اسْمُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ زَحْمُ بْنُ مَعْبَدٍ فَهَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا اسْمُكَ قَالَ زَحْمٌ قَالَ بَلْ أَنْتَ بَشِيرٌ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقُبُورِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلَاءِ خَيْرًا كَثِيرًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَرَّ بِقُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ لَقَدْ أَدْرَكَ هَؤُلَاءِ خَيْرًا كَثِيرًا وَحَانَتْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَظْرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
[100]
Artinya :”Bahwa tatkala Rosululoh Saw melihat seorang laki-laki berjalan di kuburan dengan memakai sandal maka beliau menegurnya : wahai orang yang berterompah celakalah engkau, lepaskanlah sandalmu, maka tatkala laki-laki tersebut melihat bahwa hal itu dilarang maka dia langsung melepas terompahnya dan melemparkannya

d) Dilakukan kapan saja tanpa harus menghususkan hari ataupun waktu,ataupun tempatnya.
[101]
Rosululloh Saw melarang melakukan perjalanan yang jauh dalam rangka untuk berziarah kecuali pada tiga tempat[102] yang dibolehkan seperti dalam sebuah hadits Rosul bersabda:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ قَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ وَهُوَ ابْنُ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ مِنْهُ حَدِيثًا فَأَعْجَبَنِي فَقُلْتُ لَهُ أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَمْ أَسْمَعْ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْص
[103]
“ Rosululloh Saw bersabda: “Janganlah engkau melakukan perjalanan kecuali pada tiga masjid : yaitu Masjidil Harom,Masjidku (Nabawi), dan Masjidil Aqsa”
Bid’ah-Bid’ah Ketika Ziarah Kubur
Banyak sekali kekeliruan dan kebid’ahan-kebid’ahan seputar ziarah kubur diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Membaca Al-qur’an Di kuburan
Syeikh Al-Bani berkata :”membaca Al-qur’an ketika ziarah kubur tidak ada dasarnya dari Nabi Muhammad Saw bahkan hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini dirasa tidak mensyariatkannya. Sekiranya hal itu diperintahkan niscaya Rosul mengerjakan dan mengajarkan kepada sahabat. Terlebih Aisyah sebagai orang yang paling mencintai Rosul pernah bertanya kepada beliau :apakah yang engkau ucapkan jika ziarah kubur? Beliau hanya mengajarkan salam dan do’a tidak mengajarkan kepadanya Al-Fatihah atau Al-qur’an seandainya membaca Al-qur’an itu diperintahkan pasti beliau tidak akan menyembunyikan hal itu ( Ahkaamul Janaaiz hal : 183)
[104]

2) Duduk diatas kubur atau berjalan diatasnya
Sebagaimana dalam sebuah haditsnya Rosululloh Saw bersabda :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قاَلَ:قاَلَ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنْ يَجْلِسَ اَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرُقَ ثِيَا بَهُ فَتَخْلُصَ اِلَى جِلْدِهِ اِلَى خَيْرِ لَّهُ مِنْ اَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
[105]
Sungguh sekiranya salah seorang dari pada kalian duduk diatas bara api sehingga membakar pakaiannya lali menjalar ke sekujur tubuhnya itu lebih baik dari pada ia duduk di atas kubur
3) Membangun masjid diatas kubur atau meninggikan kuburan
Sebagaimana Rosululloh bersabda :
اَلاَ اَبْعَثَكَ عَلَى مَا بَعَثَنىِ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَنْ لاَ تَدْعُ تِمْثَالاً اِلاَّ طَمَسْتُهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا اِلَّا سَوَّيْتَهُ
( اخرجه مسلم باب الجنائز 31 رقم 93 الحاكم 369)
Ketahuilah bahwasanya aku mengutusmu sebagaimana dulu Rosululloh Saw mengutusku yaitu, jangan engakau tinggalkan patung-patung melainkan engkau hancurkan, tidak pula kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan( HR Muslim)
[106]
4) Mengapur dan duduk serta mendirikan bangunan di atasnya
عَنْ جَابِرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَى رَسُوْلَ الله ُصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرِ, وَاَنْ يَقْعُدَ عَلَيْهِ , اوَيَكْتُبَ عَلَيْهِ
( رواه مسلم 3 62) وَفِيْ رِوَايَةِ اَبوُْدَاوُدَ فِيْ كِتَابِ الْجَنَائِزِ نهَىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يَقْعُدَ عَلَى اْلقََبْرِ وَاَنْ يَقُصَّصَ وَيُبْنَى عَلَيْهِ ( رواه ابوداةد حديث : 2225)
Dari Jabir Ra. Beliau berkata: Rosululloh Saw melarang kubur-kubur dikapur, diduduki diatasnya, dibangun di atasnya, atau ditulisi diatasnya.
( H.R Muslim 3/ 62, Abu Daud no: 2225)
Imam As-Syaukani berkata: “Dalam hadits ini terdapat keharaman menulis di atas kuburan, dan zohirnya tidak di bedakan antara sekedar nama mayit atau selainnya” ( Nailul Author 4/129)
5) Sholat di kuburan dan menjadikan kuburan sebagai masjid
Rosululloh memperingatkan dari sholat di kuburan.dengan sabdanya :
حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنِي مَعْمَرٌ وَيُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَائِشَةَ وَابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَا لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً عَلَى وَجْهِهِ فَإِذَا اغْتَمَّ كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا
[107]
“Dari Aisyah Ra.dia berkata “ Tatkala Rosululloh hendak diambil nyawanya, beliau segera menutup kain diatas mukanya, lalu beliau buka lagi kain di atas mukanya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas, ketika beliau dalam keadaan demikian itulah, beliau bersabda:” semoga laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan Nasrani mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid dan beliau memperingatkan hal ini terhadap apa yang mereka kerjakan”.
6) Mengusap-usap kuburan dan menciuminya
Ini adalah umumnya yang terjadi di masyarakat dan di lakukan oleh orang-orang yang jahil dan ahli bid’ah seperti mengusap-usap pagar,pintu dan dan apa-apa yang berada diareal pemakaman. Imam Nawawi berkata:” Barangsiapa yang terbersit dalam hatinya mengusap-usap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah maka hal ini menunjukan kejahilannya dan kelalaiannya, karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran”?
[108]
Imam Ghozali berkata:”Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan merupakan adat istiadat Yahudi dan Nasrani”[109]
7) Melemparkan surat titipan kekuburan Nabi Muhammad Saw
Biasanya budaya ini dilakukan oleh para jama’ah haji. Dan hal ini yang harus ditinggalkan, Karena termasuk perkara yang baru( bid’ah) sebagaimana Nabi telah memperingatkan kepada Umatnya:
لَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا , وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قبُوُرًا, وَصَلُّوْا عَلَيَّ , فَإِنْ صَلَا تُكُمْ تَبْلَغَنِيْ اَيْنَ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bersholawatlah kepadaku,karena sesungguhnya sholawat kalian akan sampai kepadaku dimana pun kalian berada”( Al-Mustadrok’Ala Mu’jam Manahi Lafdziyah)
[110]
8) Meminta kepada penghuni kuburan
Hal ini merupakan perkara bid’ah bahkan mengarah kepada kesyirikan,Karena berwasilah kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudhorot ( surat Fathir 13-14), dan hal ini dilarang oleh Alloh dan Rosul-Nya. Ibnu Qoyyim ra. Berkata:” Termasuk kesyirikan meminta kebutuhan kepada orang yang telah meninggal dunia. Karena orang yang telah meninggal itu telah terputus amalnya. Dan tidak bisa memberi manfaat dan mudhorot untuk dirinya sendiri dan orang lain,apalagi kepada orang yang meminta agar di kabulkan permintaannya!” (Madarijus Salikin 1/424)
9) Mengkhususkan ketika berziarah yakni dengan memakai baju hitam,celana hitam sandal hitam dan semuanya serba hitam.
Juga membawa kembang untuk ditaburkan ke kuburan seseorang ini adalah bid’ah yang tidak pernah di contohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan juga oleh para Sahabatnya.
10) Menabur bunga ketika ziarah kubur

Kesalahan Seputar Ta’ziah

A. PENGERTIAN TA’ZIAH
Kata “ta’ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘azza Artinya sabar. Oleh karena itu ta’ziyah berarti menyabarkan dan menghibur orang yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat menghapus duka dan meringankan penderitaan
[111].
Maknanya sama dengan al-aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan. Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya. Penulis kitab Radd Al-Mukhtar mengatakan : “Bertaz’iyah kepada ahlul mayit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akanya”. Imam Al-Khirasyi di dalam syarahnya menulis : “ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”

B. HUKUM TA’ZIYAH
Adapun hukum dari pada ta’ziyah adalah sunnah walau terhadap dzimmai sekali pun. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Madjah bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
عن عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَة.ِ
“Dari Umar dan ibnu Hazmi dari rosulullah Shollalohu ‘Alaihi Wasallam bahwasannya beliau bersabda : Tidak ada seorang mu’min pun yang datang untuk berta’ziyah kepada saudaranya yang di timpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kesabaran oleh Allah pada hari kiyamat.”
[112]

Ta’ziyah di sunnahkan hanya satu kali. Dan ia mesti dilakukan terhadap seluruh kerabat mayat, besar maupun kecil, laki-laki dan wanita,
[113] baik sebelum dikubur maupun sesudahnya, hingga tiga hari setelah wafatnya. Kecuali jika yang akan berkunjung atau yang hendak dikunjungi itu sedang bepergian, maka tidak mengapa melakukannya setelah lewat waktu tersebut.

C. ANJURAN ROSULULLAH KETIKA MELAKUKAN TA’ZIAH
1. Mengucapkan istirja’
Salah satu dari hal yang di anjurkan adalah mengucapkan kalimat istirja’ ketika mendengar saudaranya tertimpa musibah, karena hal yang demikian merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sesame dan allah akan menggantinya dengan kebaikan kebaikan yang di janjikan. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Dari Ummu Salamah ia berkata: Aku mendengar Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak seorang muslim pun yang ditimpa suatu musiah lalu mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah – yang artinya – “Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Ya Allah berikanlah pahala kepadaku atas musibah ini, dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya”. Kecuali Allah akan mengganti yang lebih baik darinya.”
[114]

2. Menyampaikan ucapan ta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah adalah disyari’atkan.
Yaitu, mendo’akan ampunan bagi mayit, bagi keluarga yang ditinggalkan, dan bagi rekan sejawatnya, mendo’akan semoga Allah menghapus duka mereka.
[115]
3. Membuatkan makanan dan menghantarkannya kepada keluarga yang di timpa musibah.
Sebagaimana sabdanya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ.
“Abdulah bin Ja’far ra. berkata : Tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja’far, Nabi Sholalohu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja’far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyibukkan mereka”.
[116]
4. Menghibur dan menasehati keluarga mayat agar tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Yaitu menasehati bahwa musibah yang menimpanya merupakan ujian dan cobaan bagi para hambanya, barang siapa yang bersabar maka tetaplah pahala baginya. Karena seseorang akan mendapatkan pahala yang besar juga tergantung pada besarnya sebuah cobaan. Sebagaimana sabdanya :
وَبِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda: Sesungguhnya besarnya pahala tergantung daripada besarnya cobaan, karena apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah menguji mereka, barangsiapa yang ridho terhadap ujian itu maka baginya keridhoan dari Allah, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan dari Allah.
[117]

Demikian juga bahwa kesabaran yang paling utama adalah ketika sedang terjadinya musibah atau pada goncangan yang pertama kalinya. Sebagaimana sabdanya :

عَنْ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى
“Dari Tsabit ia berkata, aku mendengar Annas ra. dari Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda : “Sabar itu terletak pada goncangan yang pertama”
[118]

D. LARANGAN DALAM TA’ZIAH
1. Niyahah (meratap)
2. Larangan menyediakan makanan untuk penta’ziyah
3. Larangan wanita yang berta’ziyah mengikuti jenazah ketika hendak di bawa ke pemakaman
4. Berlama-lama ditempat orang yang tertimpa musibah

E. BID’AH-BID’AH SEPUTAR TA’ZIAH
Sebelum kita membahas tentang bid’ah-bid’ah tentang seputar ta’ziah maka alangkah baiknya kita ketahui apa itu bid’ah secara bahasa maupun secara istilah syara’
1. Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara bahasa adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh yang mendahuluinya
[119]
Firman Allah :
ßìƒÏ‰t/ ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ( #sŒÎ)ur #ÓÓs% #XöDr& $yJ¯RÎ*sù ãAqà)tƒ ¼ã&s! `ä. ãbqä3uŠsù ÇÊÊÐÈ
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.” (QS. Al-Baqoroh : 177)
Maksudnya adalah bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului oleh suatu contoh mana pun. Lafadz Badi’ artinya pencipta, yaitu menciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Sedangkan menurut syara’, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah rohimahullah. “Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi atau menyimpang dari kitab atau sunnah dan ijma’ salaful ummah, baik I’tiqod (sesuatu yang harus diyakini) maupun Ibadah (sesuatu yang harus diamalkan)
[120]
Adapun secara istilah yang dimaksud dengan bid’ah adalah suatu yang baru di dalam agama yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya atau satu cara yang diadakan/dibuat oleh orang di dalam agama yang menyerupai syari’at untuk tujuan beribadah kepada Allah.[121]

2. Macam-Macam Bid’ah Dalam Ta’ziah
a. Selamatan Kematian
Selamatan adalah berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga si mayit. Baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat pulu, keseratus dan seterusnya. Maupun dalam upacara yang sifatnya masal yang lazimnya dilakukan di perkuburan yang biasa di sebut Haul, yang disitu juga dilakukan acara makan-makan. Padahal imam syafi’I di dalam kitabnya Al Umm mengatakan :
وأكره المأثم, وهي الجماعة, وإن لم يكن لهم بكاء, فإن ذالك يجددالحزن.
“Aku tidak menyukai ma’tsam, yaitu berkumpul kumpul (di rumah keluarga sang mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu akan menimbulkan kesedihan baru
[122].
Di dalam kitab I’anah At-Tholibin juga diyatakan :
نعم, ما يفعله الناس من الاجتماع عند اهل الميت وصنع الطعام من البدع المنكرة التى يثاب على منعها.
“Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul dirumah keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah munkaroh bid’ah yang diingkari agama. Dimana orang-orang memberantasnya akan mendapatkan pahala.
[123]
b. Membuat Jamuan Makanan untuk Para Petakziah
Diantara hal yang harus dijahui adalah bid’ah yang dibuat oleh manusia karena kebodohannya. Yaitu berkumpul di rumah-rumah untuk ta’ziyah, jamuan makanan, dan mengeluarkan uang untuk tujuan kesombongan, karena para salafush sholih tidak pernah berkumpul di rumah-rumah. Sebagian dari mereka berta’ziyah kepada sebagian yang lain di kuburan, atau bertemu dengannya di tempat manapun. Tidak apa-apa seorang muslim pergi kerumah keluarga si mayit, jika ia tidak dapat bertemu mereka di kuburan atau jalan, sebab yang merupakan bid’ah adalah pertemuan khusus yang di persiapkan.
[124]
c. Membaca Al-Qur’an dan pahalanya di hibahkan kepada sang mayit.
Adapun pertemuan para qori’ dirumah keluarga mayit untuk membaca Al Qur’an, menghadiyahkan bacaan merka kepada mayit, dan pemberian upah untuk mereka (para qori’) oleh keluarga mayit, ini termasuk dari pada bid’ah yang harus ditinggalkan. Dan saudara- saudara seagama hendaknya di ajak untuk mejahuinya, karena tidak dkenal oleh generasi Salafush Sholih dan tidak pula dikatakan oleh generasi-generasi terbaik. Apa saja yang menjadi agama generasi pertama umat ini, itu tidak akan menjadi agama bagi generasi terakhir umat ini apa pun alasannya.
Membaca Al-Qur’an pada hakikatnya adalah ibadah bagi pembacanya, yang dengan membacanya itu ia atau pendengarnya dapat mendekatkan diri kepada Allah Sunbhanahu Wata’ala. Dalam hal ini tidak ada perselisihan. Namun perselisihan itu timbul apabila bacaan itu di tujukan kepada mayat untuk membebaskannya dari siksa kubur dan siksa neraka. Padahal sudah sama diketahuai bahwa Al-Qur’an tidak diturukan untuk orang yang sudah mati akan tetapi hanya untuk orang yang masih hidup sebagaimana firman-Nya :
$tBur çm»oYôJ¯=tæ t÷èÏe±9$# $tBur ÓÈöt7.^tƒ ÿ¼ã&s! 4 ÷bÎ) uqèd žwÎ) ֍ø.ÏŒ ×b#uäöè%ur ×ûüÎ7•B ÇÏÒÈ u‘É‹ZãŠÏj9 `tB tb%x. $wŠym ¨,Ïts†ur ãAöqs)ø9$# ’n?tã šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÐÉÈ
“Dan kami tidak mengajarkan kepadanya (Muhamad) dan bersya’ir itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas. Agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang –orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azdab) terhadap orang-orang kafir”
[125].

Allah juga telah berfirman :
br&ur }§øŠ©9 Ç`»¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy™ ÇÌÒÈ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
[126]
Maksudnya adalah bahwa sebagaimana halnya seseorang tidak dapat menanggung atau memikul dosa orang lain, maka demikian pulalah seseorang tidak dapat memperoleh pahala kecuali dari apa yang telah ia usahakan sendiri. Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasalam dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Dari Abu Hurairoh bahwasannya Rosulullah Shollalohu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Apabila anak cucu adam menunggal dunia maka terpuuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholih yang mendo’akan orang tuanya.
[127]

Maka jelaslah bagi kita bahwa menmbacakan sebagian dari ayat Al-Qur’an kemudian dengan maksud hendak dihadiahkan kepada si mayit maka tidak akan sampai pahalanya kepadanya. Bahkan Imam syafi’I pun berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur’an yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tidak sampai kepadanya karena. Beliau imam syafi’I juga mengunakan dalil surat An-Najm ayat 36
[128]
Dalam hal ini ada sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. menceritakan beliau Ibnu Umar pernah berwasiat, kalau ia sudah meninggal dunia supaya di bacakan surat Al-fatihah dan beberapa ayat pada penghabisan surat Al-Baqoroh di atas kuburannya.
Adapun riwayat itu adalah tingkatannya “Syadz”, sanadnya tidak shohih. Dan tidak seorang jua pun di antara para sahabat yang menyetujuainya
[129].
Begitu pula riwayat-riwayat tentang membaca surat Al-Fatihah, surat Al-ikhlas, surat Al-Falaq, Surat An-Nas, Surat At-Takatsur, surat Al-Kafirun, dan menghadiyahkannya kepada ahli kubur adalah palsu (batal), karena bertentangan dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan perbuatan para sahabatnya.
d. Membaca surat yasin secara berjama’ah di rumah keluarga sang mayat yang di lakukan pada malam pertama, kedua, ketiga, kemudian hari ketujuh dan seterusnya.
Salah satu perbuatan yang sering di lakukan leh kebanyakan orang adalah membaca surat yasin pada malam jum’at yang mana amalan ini sebenarnya tidak ada contonya baik dari Rosulullah maupun para sahabatnya.
لو كان خيرا لسبقون عليه
”Sekiranya perbuatan itu baik niscaya generasi pertamalah yang akan melakukannya”.
[130]
e. Mengundang tamu untuk melakukan tahlilan pada hari pertama, ke tujuh, ke empat puluh, dan genap setahun.
Sesuatu yang di benci (munkar) dalam agama ialah kegiatan mengadakan tahlilan, karena sesungguhnya membangkit-bangkitkan kembali kesedihan dengan mengadakan pada hari kamis sesudah wafatnya sang mayat hingga masa 40 hari, atau sehingga hari peringatan satu tahun dari wafatnya si mayit
[131].
f. Memenuhi undangan keluarga mayit untuk makan
Dalam hal ini sudah kita ketahuai bersama pada pembaasan di atas bahwa sebenarnya bukanlah ahli mayit yang menyediakan makanan buat sang petakziah akan teapi sanak kerabat, tetanggalah yang hendaknya mengerti keadaan keluarga sang mayat. Karena apabila halini di lakukan maka akan semakin menjadikan beban bagi keluarga sang mayit. Meskipun di undang karena itu merupakan bid’ah yang di ada-adakan.
g. Membiarkan tempat gelaran (tikar atau permadani) di rumah sang mayat untuk para tamu yang berta’ziah hingga tujuh hari, kemudian disingkirkan.
Suatu hal yang dilarang dan merupakan perbuatan yang diada- adakan adalah tetap membiarkan tempat di dalam rumahnya yang di sediakan bagi para petakziah, terlebih lagi apabila orang tersebit mengetahui bahwa perbuatan itu sebenarnya adalah dilarang dalam agama dan tidak ada contohnya baik dari rosul maupun parasahabatnya. Padahal mereka adalah orang yang faham tentang hadits.


[1] Drs.H.Mustafa Kamal Pasha, Fiqh Sunnah, Citra Karsa Mandiri, tahun:2003

[2] HR. At-Tirmdzi dalam kitab Sirajul Munir, Nomer 358

[3] Dr.Wahbah Juhaili, Fiqh Islam Wa Adhilatihi, Damasqi: Dharul Fiqri, 1989, Cet. Ke-3 tahun 1989 M, h. 449
[4] HR. At-Tirmdzi dalam kitab At-Tiib, Nomer 1961, Ibnu Majah dalam kitab At-Tiib, Nomer 3428
[5] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Madinah: Maktabatul Uluumi wal Hakam,2007, cet ke-2, h. 185
[6] HR. Abu Daawud dalam kitab Al-Tiib, Nomer 2388

[7] HR. Ahmad dalam kitab Musnad As-Saamiyiin, Nomer 16871

[8] HR. Bukhori dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1268

[9] HR. Muslim dalam kitab At-Thoun, Nomer 4117

[10] HR. Muslim dalam kitab At-Thoun, Nomer 4108

[11] Abdurrahman Al-jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Ala Madzhai arba’ah, Beirut: Daarul fikri, 1999, h. 427

[12] HR. Muslim dalam kitab Al-Jannah, Nomer 4108

[13] HR. At-Tirmdzi dalam kitab Zakat, Nomer 2310

[14] HR. Bukhori dalam kitab Al-Mariidi, Nomer 5239

[15] A.Hasan, Pengajaran Shalat, Bandung, cv Diponegoro,1995, cet. Ke 29, h. 349

[16] HR. Muslim dalam kitab Al-Birru Wassilat Wal Adabu, Nomer 4659

[17] HR. Bukhori dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1164

[18] Dr.Wahbah Juhaili, Fiqh Islam Wa Adhilatihi, Damasqi: Dharul Fiqri, 1989, Cet. Ke-3 tahun 1989 M, h. 451

[19] HR. Bukhori dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1268

[20] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta, pustaka amani, 2007, h. 502

[21] HR. Muslim dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1532

[22] HR. Abu Daawud dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 2809

[23] HR. Muslim dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1528

[24] HR. Abu Daawud dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 2711

[25] Ibnu Qudamah, Al-mughni, Beirut: Daarul Kutuub Al-ulumiyah, 1994, cet ke-1, hal. 287

[26] HR. At-Tirmdzi dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 998

[27] HR. Bukhori dalam kitab Al-Libaas, Nomer 5367

[28] HR. Bukhori dalam kitab Al-janaaiz, Nomer 1219

[29] HR. Muslim dalam kitab Al-Janaaiz, Nomer 1526

[30] M. Nasrudin Albani, Ahkamu Janaaiz, Al-Maktab Al-Islami- Beirut dan Damaskus, Cet, 4 Thn1406 H-1986 M
[31] HR. Muslim , Shahih Muslim, Kitab Al Imarah, Bab Qouli SAW, No. 1907
[32] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jakarta Pusat, Pena Pundi Aksara, 2006, hal, 139
[33] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Daar Al Jiil, 1409 H/1989, hal, 167
[34] Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Subulus Assalam II Hal 93
[35] HR. Bukhori, Shahih Bukhari, Wudhu, Bab At Tayamun fil Wudhu’I wal Ghazli, No. 162
[36] HR. Bukhari, Shahih Bukhari “Al Jana’iz” Bab Maa Yastahabba An Yughsila wa Taro, No. 1176
[37] Muhammad Nashiruddin Al Bani, Ahkamul Jana’iz wa Bid’ihaa, Beirut, Al Maktab Al Islami, Cet. IV, Th 1406 H/1986 M
[38] ibid, 62
[39] Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim, Beirut, Darul Fikr, 1424 H/2003 M, hal, 209
[40] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jakarta Pusat, Pena Pundi Aksara, 2006, hal, 141
[41] Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Subulus Assalam, Bandung, Al Multazam, hal, 93
[42] HPT Hal 238
[43] HR. Muslim, Shahih Muslim, Al iqatidiyah, Bab Naqidul Ahkam Al Bathilah warodo Muhdu Tsabit Al Umur, No. 3243
[44] HR. Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Kitab Ar-Riqoq, Bab Fashlu Al-Fiqr, no. 5967
[45] HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab Maa jaa’a fi Al-Janaiz, no. 1463 dan HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Janaiz ‘an Rasulillah, Bab Minhu no. 916

[46] HR. Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Janaiz ‘an Rasulillah, Bab Maa Yustajabu Minan Akfan, no. 915 dan HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab At-Tib, Bab Fil Amri Bil Kahli, no. 3380 dan HR. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Kitab Wa min Musnadi Bani Hasyim, Bab Bidayah Musnad Abdillah bin Abbas, no. 2109

[47] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Kitab Baqiya Musnad Al-Muktsirin, Musnad Jabir bin Abdillah, no. 14013

[48] HR. Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Kitab Al-Janaiz, Bab Al-Tsiyabu Al-Baidh Lilkafni, no. 1185 dan HR. Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Janaiz, no. 1564 dan HR. Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Janaiz ‘an Rasulillah, no. 916

[49] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Darul Fath, Jakarta: 2004, Jilid II), hal. 143-144

[50] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul-Janaiz wa Bid’iha, (Al-Maktab Al-Islami, Beirut dan Damaskus, Cet.IV, Th. 1406 H)
[51] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Janaiz, Bab Fil-Kafni, no. 2739

[52] HR. Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Kitab Al-Janaiz,Bab Al-Kafnu Fi At-Tsaubain, no. 1186

[53] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Darul Fath, Jakarta: 2004, Jilid II)hal. 145

[54] Abu Ath-Thayyib, Ar-Raudhatun-Nadiyah, jilid I, hal. 165

[55] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul-Janaiz wa Bid’iha, (Al-Maktab Al-Islami, Beirut dan Damaskus, Cet.IV, Th. 1406 H) hal. 75

[56] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Darul Fath, Jakarta: 2004, Jilid II)hal. 145-146
[57] Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 2, (Suara Muhammadiyah, Yogyakarta: 2003, Cet. VI), hal. 169

[58] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul-Janaiz wa Bid’iha, (Al-Maktab Al-Islami, Beirut dan Damaskus, Cet.IV, Th. 1406 H) hal. 243
[59] HR. An-Nasa`i no. 1960, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.

[61] HR. Abu Dawud no. 3187, kitab Al-Jana`iz, bab Fish Shalah ‘alath Thifl, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abu Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 104, mengikuti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani v dalam Al-Ishabah.
[62] Hasan :Shahihul Abu Daud no: 2688, ‘Aunul Ma’bud VIII : 408 no:3119 secara ringkas dan Tirmidzi II : 241 no: 1021 secara panjang lebar).

[63] Muslim II:654 no: 947, Tirmidzi II: 247 no:1034, dan Nasa’i IV: 75
[64] Muslim II: 655 no: 948, Ibnu Majah I: 477 dengan redaksi yang mirip
[65] (Hasan : Ahkamul Janaiz hal:99-100, ‘Aunul Ma’bud VIII : 448 no:3150, Tirmidzi II:246 no:1033 dan Ibnu Majah I: 478 no:1490).
[66] (Shahih:Shahih Nasa’i no:1869, Ahkamul Janaiz hal:103, dan Nasa’i IV :71).
[67] (Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1214, Tirmidzi II:248 no:1039 dan Ibnu Majah I: 479: 1494).

[68] (Shahih Bukhari:1168,kitab janaiz,bab arrijal na’yu ila ahlu mayiti binafsihi Ahkamul Janaiz, dan Fathul Bari III :199 no:1329).
[69] (Himpunan Putusan Tarjih, kitab Jenazah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yogyakarta: 1974, cetIII)

[70] Shahih: Ahkamul Janaiz hal:122, asy-Syifi’I dalam al-Umm I: 270, dan Baihaqi IV:39).
[71] Shahih: Ahkamul Janaiz hal:123, Muslim II: 662 no:963, Ibnu Majah I: 481 no:1500, dan Nasa’i IV:73).

[72] (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:127, dan Baihaqi IV:43).
[73] (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1859, Muslim II : 668 no: 100 dan 973 dan lafadz baginya ‘Aunul Ma’bud VIII : 477 no:3173 secara ringkas, dan Nasa’i IV:68).
[74] (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III : 199 no:3129).
[75] (Muttafaqun ‘alaih:Fathul Bari III: 116 no:1245, Muslim II:656 no:951, ‘Aunul Ma’bud IX: 5 no:3188, dan Nasa’i IV: 72).

[76] abu baker aljazairi ,Minhajul muslim , maktabah ulum wal hikam, suudiyah, / darul aqidah (kairo) h.215.
[77], sayyid sabiq Fiqh sunnah, darul fikr , hal 457.
[78] Himpunan putusan tarjih muhammadiyah, majlis tarjih muhammadiyah,
[79] HR.abu dawud, sunan abu dawud , darul fikr, Beirut Lebanon, kitab janaiz, juz 2 no 3181.(diriwayatkan juga oleh bukhori, kitab janaiz, no 1315, muslim no 944/50 tirmidzi 1015, annasai 1909, ibnu majah, 1477)
[80]
[81]
[82]
[83] HR. Bukhori, sohih bukhori, maktabah dahlan, kitab janaiz juz 1 bab wanita mengiringi jenazah no 1207
/ 1219, muslim no .938 .
[84] HR.bukhori, bab berdiri bila melihat jenazah, no 1249.
[85] HR.bukhori, bab berdiri bila melihat jenazah, no 1250
[86] HR. muslim, sohih muslim , kitab janaiz, no 959.
[87] HR.abu dawud , sunan abu dawud , kitab janaiz , bab memasukan mayat dari arah kakinya, no 3211
[88] HR.abu dawud , sunan abu dawud , kitab janaiz , bab memasukan mayat dari arah kakinya, no 3213
[89] hr. bukhori , kitab janaiz, bab “ siapa yang masuk kekubur wanita “ no 1277, (diriwayatkan juga oleh ahmad )
[90] Muhammad assaukani, (imam asyaukani), nailul author, darul fikr al’alamiyah, juz 4 , bab siapa yang menerima mayat wanita, h. 86.
[91] Kamus Al-Munawwir, Aw. Munawwir.Pustaka Progresif. Surabaya.Cet. 25

[92] Hidup Sesudah Mati. Abu Fatiah Al-Adnani. Grana Mediatama. Surakarta Cet ke I 2008 hal.31

[93] Nailul Author,Imam As-Syaukani. Darul Kitabah Ilmiyah, hal 109
[94] Minhajul Muslim.Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Maktabah Al-Ulum Wal-Hikam Saudi hal. 219
[95] Mukhtashor.Minhaj Al-Qoshidin hal.482

[96] Majmu Fatawa Ibnu Taymiyyah: 27/26

[97] Al-Majmu’ 5/285

[98] Fathul Majid hal: 344
[99] Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Team penelitian PP Muhammadiyah cet 111 hal 255

[100] Sunan Abu Daud, Kitab, Aljanaaiz, Bab Almasyu’ fii na’lil kubur Hadirs: 2811, Annasa’I Kitab Aljanaaiz hadits : 2021, Ibnu Majah Kitab Aljanaaiz Hadits : 1557

[101] Zaadul Ma’ad Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Beirut Libanon cet,I hal 507

[102] Ibid
[103] HR Bukhori, Shohih Bukhori, Bab Jum’at Hadits : 1115, Shohih Muslim, Kitab: Alhaj: Bab, Shafaril Mar’ah ma’a Mahrom ilal hajji waghoirihi Hadits : 2383
[104] Nasiruddin Al-Albani,Ahkamul Janaaiz,Almaktab Al-Islami, Beirut Damaskus cet, 1V Th 1406

[105] HR Muslim, Shohih Muslim, Aljanaaiz, Hadits : 1612, An-Nasa’I Bab Aljanaaiz Hadits : 2017, Ibnu Majah, Maaja’a fil Janaazah, Hadits : 1555, Abu Daud Aljanaaiz Hadits : 2809

[106] Kitab Tauhid Dr Sholih Fauzan Al-Fauzan, Darul Haq Jakarta, Cet-1 hal 45
[107] HR Bukhori, Shohih Bukhori, Kitab Ahaditsul Anbiya Bab Maadzakaro An Bani Isroil Hadits: 4089, Muslim Almasaajid Mawaadhiisholat Hadits 827, An-Nasa’i, Bab Masaajid, Hadits :696
[108].Al-Majmu’ Syarh Muhadzab: 7/725

[109].Ihya Ulumuddin: 1/254
[110] Al-Mustadrok’Ala Mu’jam Manahi Lafdziyah.Sulaiman Al-Khurosi, hal 231-232


[111] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Jakarta: Pena Budi Aksara), trj Cet-I, 2006, hl 201
[112] HR. Ibnu Madjah, Sunan Ibnu Madjah, Kitab Maa Jaa’a fi Janaazati, Bab Maa Jaa’a fi tsawabi min ‘Azii Musibah, Hadits : 109
[113] Menurut Ulama’,dikecualikan gadis yang cantikkarena ia hanya boleh dihibur oleh muhrimnya.
[114] HR. Muslim, Shohih Muslim, Kitab Janaaiz, Bab Maa Yuqoolu ‘Indal Musibati, Hadits : 899
[115] Syaikh. Dr. Abdullah bin Abdurrohman al-Jibrin, Cara Mudah Mengurus Jenah, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2007, hl. 88
[116] HR. At Tirmidzi, Kitab Janaaiz ‘An Rosulillah, Bab Maa Jaa’a Fi Atho’aami Yamna’u Li Ahlil Mayyit, Hadits : 919 Abu dawud, Kitab al Janaaiz, Hadits : 2725, Ibnu Madjah, Kitab Maa Jaa’a Fil Janaaiz, Hadits : 1599
[117] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Hudud, Hadits : 3764, At Tirmidzi, Sunan Tiimidzi, Kitab Zuhud An rosulillah, Bab Maa jaa’a fi As Shobri Alal Bala’, Hadits : 233
[118] HR. Bukhori,Shohih Bukhori, Kitab Jana’iz, Bab As Shobru Inda Shodmatil Ulaa, Hadits : 1219, Muslim, Shohih Muslim, Kitab Jana’iz, Hadits : 1534
[119] Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat, Tasawuf, Tahlilan dan Maulidan, (Jakarta : Wacana Ilmiah Press, cet. I, 2006), hal 11
[120] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa li Ibni Taimiyah (18/346)
[121] Abdul Hakim bin Amir Abdad, Risalah Bid’ah, hal 23
[122] As Syafi’I, Al Umm, Juz I, hal 348
[123] I’anah At-Tholibin Syarah Fath Al-Mu’in, Juz 2, hal 145
[124] Abu akar Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim, (Kairo : Darul Aqidah), hal 218
[125] QS. Yasiin : 69-70
[126] QS. An Najm : 36
[127] HR. Muslim, Shohih Muslim, Kitab Wasiyat, Bab Maa Yalhaqul Insaana Min AsShowabi Ba’da Wafatihi, Hadits : 3084, At Titmidzi, Ahkam An Rosulillah, Hadits : 1294, An Nasa’I, Kitab Washoya , Hadits : 3591
[128] Muhammad Ahmad Abdul Salam, Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati, (Jakarta : Media Dakwah, cet VII, 2006) hal 18
[129] Ibid hal 43
[130] Abdul Hakim bin Amir Abdad, Risalah Bid’ah, Cet I,2001/142 H, hal 3
[131] Contohnya, peringatan tahunan meninggalnya sang mayat. Acara demikian itu hanyalah ikit ikutan, meniru orang kafir, dan menghambur-hamburkan harta.